Wednesday, November 10, 2010

Tragedi Espijo


Jangan bayangkan mas2 jawa pake blangkon pas baca ESPIJO. Ini memang ada hubungannya dengan mas2 jawa, tapi namanya bukan itu. Espijo adalah singkatan yang kami buat untuk menyebut ES PISANG IJO.
Suatu sore yang cerah, Lady, Ona, Vika dan saya mengalami sebuah euforia berlebihan karena berhasil dengan urusan kampus kami. Dengan lebaynya kami berfoto di sepanjang jalan. Beberapa orang yang kebetulan lewat cuma bisa mengelus dada. Saya tau, mereka cuma iri.
Lalu keinginan itu tercetus begitu saja, bagaikan keinginan ibu2 hamil muda; kami ingin makan es pisang ijo!!!



Dan jadilah kami 4 perempuan muda (yang tentu saja tidak sedang hamil muda) capcus ke pujasera di kawasan pasar Amans. Kami tiba di sana jam 7 malem. Udah gelap dan mayoritas orang di sana sibuk nyari bakso, nasi goreng atau sate. Tapi niat kami untuk menyantap ESPIJO sudah tidak bisa dibendung lagi. Yeayea, sekali espijo teteup espijo!
Vika mulai berjalan dari geribk espijo satu ke gerobak espijo yang lain, dia meneliti sirup merahnya. Oh iya, ini syarat utamanya. Espijo yang kami makan, ga boleh punya sirup yang warnanya PINK ELEKTRIK kayak stabillo. Kalo sampe ketemu yang gituan sih, mending ga usah makan deh. Trust me, bahan pewarnanya udah ga jelas tuh.
Untunglah setelah mencari beberapa lama, kami menemukan satu gerobak dengan sirup merah yang sewarna dengan cocopandan. Yuhuuuw! Tanpa pikir panjang, kami duduk dan memesan (ya tentu saja) 4 porsi espijo.
Lalu Vika memulai kuliahnya tentang zat pewarna tekstil, “yaah, sebagai mahasiswa kimia, kita kan tau itu bahaya. Jadi, seleksi pertama harus sirupnya.” Mendengar ini, si mas2 espijo berhenti bekerja sejenak dan mengamati dan sepertinya memberi penilaian pada sirupnya yang berada di stoples. Beberapa orang yang juga lagi makan espijo, ikut memandang bergantian ke arah stoples, kami dan mas2 espijo. Si mas langsung mulai meracik pesanan kami. Tapi, dia langsung berhenti saat sadar kalo ga ada mangkuk bersih. No other way, he had to wash the bowls.
Saat itulah tragedi itu terjadi…
Ona, yang selain mulutnya, ternyata matanya juga setajam silet (peace sista ^^v) melempar *halah* pandangannya ke arah si mas dan… dia menjerit histeris sambil nunjuk2. Sempat terbesit di otak cerdas saya Ona ngeliat hantu korban tabrakan gerobak. Tapi ide horor ini saya buang jauh2 saat Lady dan Vika memasang tampang ngeri. Bukan! Bukan ngeri karena liat setan. Tapi ngeri yang lebih mengarah pada oh-my-gosh-tukang-bakso-sebelah-boker-di-depan-pelanggannya. Mau ga mau, saya menoleh juga ke arah tempat cuci piring. Dan…
Holly shit!
Air rendaman cucian piringnya keruuuh banget! Kesannya ga pernah diganti dari minggu lalu. Lebay? Well, nih saya bandingkan dengan hal lain ya… hmmm, pernah liat beras yang lagi dicuci? Nah, air cucian pertama beras kualitas paling rendah itulah yang sama persis dengan air cucian itu. Serius! Bedanya, air beras itu KAYA NUTRISI tapi air sabun? BISA BIKIN MATI PELAN2! Separuh jiwa saya rasanya pergi; espijo dambaan hati ternyata ga steril.
        Nasi sudah jadi bubur, kita nekat ambil resiko. Si mas dengan wajah inocent sambil siul2 lagu yang sepertinya keong racun, mulai melanjutkan pekerjaan. Kami sudah terlanjur mencelos. Untuk menutupi sakit hati kami, kami sengaja liat2 foto yang barusan di-take di kampus. Tapi tetep aja ga make sense. Kami tau, kami sadar, kami akan makan sesuatu yang… euuuggghh!!!
        Detik2 berlalu lambat… tik tok tik tok… espijo kamipun siap dihidangkan. Vika yang mendapat kehormatan untuk mencicipi terlebih dahulu. Matanya berkedap-kedip lucu saat mangkuk espijo pindah tangan. Dia tertawa. Kami tertawa. Orang2 bingung.

  Satu per satu mangkuk espijo berpindah ke tangan kami. Saya dapet mangkuk terakhir. Vika langsung memprovokasi, “wooowww, enak loh sista…”
 
Kami menatap apatis. Tapi mukanya sangat meyakinkan. Jadi, kami pura2 lupa air cucian mangkuk dan mulai makan. Saya berdoa sebelumnya, berharap semoga espijo ini tidak mengurangi satu detikpun hidup saya di dunia.
Slurp
Kuah espijo membasahi bibir dan dilanjutkan ke tenggorokan. Sensasinya menyenangkan. Dan, yah memang enak!
“acuhkan mangkuknya, ini adalah espijo paling enak se-Ambon!” kami sepakat.

10 menit berlalu dan 4 mangkuk itu kembali kosong.
        Kami sempat foto2 di sekitar gerobak featuring mas bakso, mas nasi goreng dan mas mie ayam.
Di sepanjang jalan pulang, saya berjanji ga akan mau lagi makan di tempat yang ga terjamin kebersihannya. Ternyata Vika, Lady dan Ona juga memikirkan hal yang sama. Kesehatan itu mahal, Jendral!



Vika sepertinya tertarik jadi pengusaha Espijo :P
        Kami cuma bisa mendoakan semoga mas itu insaf dan lebih meningkatkan kebersihan. Karena sebenarnya… ESPIJONYA ENAK BANGET!

No comments:

Post a Comment